Melakukan perjalanan umrah di saat Ramadhan, sungguh tidak pernah saya bayangkan. Apalagi ditambah dengan menyambangi Masjidil Aqsha dan bertemu saudara seiman. Benar-benar perjalanan yang menggetarkan.
Oleh Nuryalestri Handayani
Pergi ke Baitullah merupakan keinginan setiap Muslim, khususnya untuk menyempurnakan rukun Islam ke lima. Begitu pula dengan saya. Tapi kali ini kepergian saya tidak ada rencana sebelumnya. Satu bulan sebelum pemberangkatan saya fokus pada kesehatan bapak mertua yang tiba-tiba terkena serangan stroke. Dan pada akhirnya Allah lebih sayang kepadanya sehingga tepat tanggal 30 Juli 2009 beliau meninggal dunia.
Awal Agustus setelah saya kembali dari kampung halaman, saya kembali bekerja seperti biasa. Tapi tiba-tiba, pimpinan ditempat saya bekerja memanggil dan menanyakan apakah saya ingin umrah.
Subhanallah sebuah penawaran yang tidak terduga. Alhamdullillah suami meridhai untuk saya melaksanakan ibadah Umroh di bulan Ramadhan. Sujud syukur tidak lupa saya lakukan. Saya mempunyai waktu untuk pesiapan administrasi hanya beberapa hari saja. Bismillah dengan tekad yang bulat saya coba. Singkat cerita, meski dengan proses yang tidak mudah, urusan administrasi selesai juga.
Setelah proses administrasi umrah selesai, ternyata ujian belum usai. Karena umrah ini berlanjut dengan perjalanan menuju Masjidil Aqsha, visa dari Israel belum bisa didapatkan. Salah satu sebabnya, visa tak bisa diurus dari Indonesia karena tak punya hubungan diplomatik dengan Israel.
Akhirnya sepekan sebelum pemberangkatan, KBIH Al Fatah memberi informais bahwa jadwal pemberangkatan 31 Agustus 2009. Rombongan berangkat dengan transit di Bangkok. Bandara international di Bangkok ini megah sekali dengan berbagai fasilitas yang ada.
1 September pukul 00.30 waktu Bangkok kami melakukan perjalanan ke Amman. Kali ini jenis pesawat yang dipergunakan lebih besar. Kami makan sahur di pesawat dilanjutkan dengan shalat subuh berjamaah. Pesawat mendarat pukul 05.00 waktu Jordan. Selanjutnya kami akan melanjutkan perjalanan ke Jeddah.
Pukul 19.30 pesawat lepas landas menuju Jeddah. Hari ini kali pertama saya merasakan puasa selama 16 jam, berbeda dengan di Indonesia hanya 13 jam. Kami berbuka puasa di pesawat. Sampai Jeddah pukul 23.00, selanjutnya dengan menggunakan bis kami menuju Madinah.
Masjid Nabawai dan Raudhah
Saya datang ke masjid yang mulia ini, sebelum masuk waktu Subuh, sehingga masih sempat mendirikan shalat lail. Adzan Subuh berkumandang, jamaah semakin memadati Masjid Nabawi. Shalat terasa khusyuk sekali mendengarkan imam masjid memimpin shalat Subuh.Walaupun Ayat yang dibaca panjang tidak terasa lama. Saya ingin sekali shalat di Raudhah yang disebut sebagai Taman Surga. Dari Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Antara rumahku dengan mimbarku ada satu taman dari sekian banyak taman surga.” Di sana saya melakukan shalat dua rakaat. Hari itu, saya menghabiskan waktu untuk i’tikaf di Masjid Nabawi dengan memperbanyak ibadah sampai waktu berbuka.
Suasana ba’da shalat Ashar di Masjid Nabawi ramai sekali. Para Askar mengelarkan plastik putih di antara shaff. Jamaah duduk saling berhadapan. Sajian menu buka puasa adalah kurma, roti arab, yogurt, air mineral, air zam-zam dan ada pula air rasa jahe.
Tapi lidah Indonesia ini tidak bisa kompromi. Akhirnya yang di makan beberapa butir kurma didorong dengan air zamzam. Terasa sebuah persaudaraan yang indah sekali. Suasana yang menyenangkan dapat berbuka puasa bersama dengan saudara seimaan di masjid nabi yang mulia.
Ba'da shalat Isya, kami melakukan tarawih sebanyak 23 rakaat. Shalat tarawih di di Masjid Nabawi terasa berat karena harus menahan rasa ngantuk. Maklum, perbedaan waktu dengan Indonesia sekitar empat jam. Kami tinggal di Madinah selama tiga hari.
Jum'at, 4 September 2009. Ba'da shalat Jumat rombongan kami berkemas-kemas untuk melanjutkan perjalanan ke Makkah guna melaksanakan umrah.
Ketika sampai Masjidil Haram, kami langsung mennuju Hotel untuk menyimpan barang sesuai dengan pembagian kamar. Di Masjidil Haram kami masuk melalui pintu Babusalam. Saya takjub sampai menitikan airmata ketika saya menyaksikan Ka`bah (Baitullah) dari dekat. Antara percaya dan tidak, saya bisa melihat langsung kiblat kaum Muslim di seluruh dunia.
Berbuka puasa di Masjidil Haram tidak jauh berbeda dengan berbuka di Masjid Nabawi. Menu yang diberikan satu paket kurma dan air zamzam serta teh Arab.
Shalat tarawih dilaksanakan 20.45 setelah shalat Isya, sebanyak 23 rakaat termasuk witir.
Imam Masjidil Haram selalu memberi aba-aba saat selesai delapan rakaat, akan diselingi shalat mayit dan biasanya imam akan berganti pada rakaat ke-10. Doa qunut yang dibacakan imam, terasa mengharukan. Hampir seluruh jamaah meneteskan air mata karena begitu meresap ke kalbu.
Kami di Makkah selama tiga hari, selain melaksanakan ibadah Umroh kami melakukan ziarah, diantaranya ke Jabbal Tsur dan Padang Arafah.
Kemudian saya masuk ke dalam masjid untuk beri’tikaf sampai menjelang waktu berbuka. Saat istirahat menjelang shalat ashar, tiba-tiba di sebelah kanan saya tas mukena yang hilang waktu dzuhur dan sudah saya cari-cari seolah-olah muncul tiba-tiba. Subhanah, saya sampai memekikkan kalimat tasbih. Maha Suci Allah dengan segala kebesaran-Nya.
Menuju Masjid al Aqsha
Senin, 7 September 2009 pukul 02.30 rombongan menuju bandara King Abdul Aziz, Jeddah guna melanjutkan perjalan ke Masjid Al Aqsha di Palestina melalui Jordan. Dari perbatasan Jordan, kami melanjutkan perjalanan ke perbatasan Jordan dan Israel menggunakan bis. Di sepanjang perjalanan menuju perbatasan Jordan-Israel, tampak pepohonan Zaitun yang berjejer teratur. Buah Zaitun dan minyak Zaitun ini memang merupakan trade mark hasil pertanian utama Jordan yang diekspor ke manca negara.
Sepanjang perjalanan rombongan harus menjalani pemeriksaan di sejumlah check point yang tersebar di perbatasan Jordan, perbatasan Allenby Bridge, dan Jembatan King Husein. Saat di imigrasi Israel, kami melewati beberapa kali pemeriksaan tentara Israel.
Kami diperiksa dengan mengunakan X-Ray. Semua badan saya diperiksa, isi pakaian, dompet, HP, dan semacamnya dikeluarkan. Passport saya bersama empat jamaah Umrah Farfaza ditahan seorang tentara wanita. Kemudian pimpinan rombongan ditanya maksud dan tujuannya datang ke Israel.
Akhirnya kami semua diperbolehkan pindah ke pemeriksaan berikutnya. Kali ini, untuk pemeriksaan pasport. Saat antri enam orang di antara kami, termasuk saya mesti ditahan kembali. “Biasa, yang muda-muda sering ditahan,” kata Ustadz Yakhsayallah Mansyur, pimpinan rombongan.
Tulisan dan gambar yang berada di dinding, “Israel Terbuka untuk Semua”, tampaknya cuma sekadar slogan.
Setelah menunggu selama tiga jam, dua orang tentara Israel wanita dan pria sambil memegang senjata meminta formulir yang telah diisi. Rombongan yang lolos pemeriksaan ternyata juga dilakukan pengecekan, yaitu di foto ulang diruang tunggu mereka dipanggil satu persatu untuk rekam dua sidik jari telunjuk. Sungguh ujian kesabaran. Allahu Akbar.
Lepas dari semua pemeriksaan kami menuju kota Ramallah, Tepi Barat. Jaraknya 10 km sisi Utara dari kota Jerusalem. Kami menginap satu malam. Melakukan aktivitas buka puasa, shalat dan sahur di hotel. Baru pada shalat subuh kami berkesempatan melakukan shalat di masjid dekat hotel. Sepanjang jalan menuju masjid terasa sepi sekali, tidak ada seramai suasana seperti di Indonesia.
Setelah di halaman Masjid banyak kendaraaan karena mereka berangkat sholat kebanyakan menggunakan kendaraan pribadi di bandingkan jalan kaki. Sehingga di jalan-jalan terasa sepi sekali, suasana Ramadhan tidak nampak seperti di Indonesia.
Sampai masjid, kami melihat banyak kendaraan diparkir di sana. Jamaah pria dan wanita masuk dari pintu yang berbeda. Tapi saya tidak melihat usia muda yang hadir. Mungkin karena faktor keamanan.
Kami memperkenalkan diri dari Indonesia sebagai saudara seiman. Kehadiran kami disambut gembira. Banyak hal yang kami bicarakan, mereka bingung, bagaimana kami bias membaca al Qur’an tetapi tidak bisa bahasa Arab. Penduduk Palestina, ramah-ramah, sangat respon dengan pembicaraan kami. Di akhir pertemuan kami saling berpelukan. Mereka senang sekali mendengar kami akan ke al Aqsha.
Alhamdulillah, dengan rasa haru apa yang kami inginkan dapat terwujud. Akhirnya kami dapat masuk ke Masjid Al Aqsha di al Quds. Pintu gerbang masjid dijaga oleh tentara-tentara Israel. Belum pernah kami merasakan masuk ke sebuah masjid dengan pengawasaan seketat ini. Tentara Israel menanyakan agama kami. “Apakah Anda Muslim?”
Pertanyaan yang aneh, tentu saja kami Muslim. Rasa haru membuncah karena kami dapat mendirikan shalat di Masjidil Aqsha. “Shalat di Masjid Al-Haram sama dengan 100.000 shalat di masjid lainya, dan shalat di masjidku (Masjid Nabawi) sama dengan 1.000 shalat di masjid lainya, dan shalat di Masjid Al Aqsha sama dengan 500 shalat di masjid lainya”. (HR Ath-Thabrani).
Masjidil Aqsha luasnya 142 hektar, areal yang dikelilingi pagar yang terletak di dalam pagar Al-Quds di sebelah Timur dan Selatannya. Halaman masjid ditanami pohon Zaitun. Orang yang memasuki masjid ini melakukan tahiyatul masjid di sebelah mana saja sepanjang berada di sekeliling tembok. Baik di samping pohon, di dalam Kubbah Emas (Qubbah ash Shakhra) sedangkan untuk jamaah wanita di dalam bangunan masjid al-Aqsha.
Berbarengan dengan kami, banyak wisatawan yang datang ke masjid Al Aqsha.
Masjidil Aqsha bukanlah masjid berkubah emas yang sering kita lihat. Sedangkan masjid berkubah emas namanya Qubah ash Shakhra yang dibangun oleh Sayyidina Umar ra. Yahudi sengaja membangun imej yang salah tentang Masjidil Aqsha. Mereka sengaja menjadikan kubah emas lebih tenar dan dikenal di kalangan masyarakat Muslim.
Lokasi hotel kami sangat jauh sekali dari Masjidil Aqsha. Kami harus berjalan melalui lorong-lorong perumahan penduduk Palestina sekitar 10 menit lamanya. Walaupun jarak yang ditempuh jauh, tidak menyurutkan semangat kami untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid Al Aqsha. Kami berangkat ke al Aqsha untuk shalat tarawih setelah buka puasa.
Lorong-lorong menuju masjid Al Aqsha dipenuhi dengan lampu yang kelap-kelip. Kami menjumpai beberapa anak Palestina sedang berlari-larian, para pemuda yang duduk-duduk di sepanjang jalan. Kami cukup heran, mengapa mereka tidak bergegas untuk berangkat ke masjid dan memakmurkannya selama Ramadhan.
Srategi Israel, kaum muda dicekoki dengan hiburan-hiburan yang membuat mereka makin gandrung. Sehingga al Aqsa hanya menjerit dalam kesepian karena telinga, mata, dan hati kaum Muslimin telah demikian tertutup oleh gebyar-gebyar dunia.
Sementara mereka yang hendak shalat, diawasi dengan sangat ketat. Banyak penangkapan kaum Muslimin yang dianggap aktivis masjid ataupun aktif di kegiatan keagamaan. Banyak mahasiswa Islam yang kuliah di perguruan tinggi di bidang syariah dan ushuluddin di Jerusalem yang kesulitan biaya dan dipecat dari pekerjaan akibat berbagai tekanan dan intimidasi Israel.
Shalat berjamaah di masjid hanya dihadiri segelintir orang tua yang rumahnya berdekatan dengan masjid. Meski demikian, di malam hari berbondong-bondongnya orang pergi shalat tarawih. Membuat hati saya tergetar menyaksikan pemandangan ini.
Kami hadir, halaman Masjidil Asha sudah dipenuhi banyak jamaah. Hembusan angin cukup kencang. Kami memilih untuk shalat di dalam masjid, kebetulan untuk jamaah wanita ada di dalam masjid Kubah Emas. Suasana di dalam masjid cukup ramai pula, mereka menunggu shalat sambil bertadarus.
Kebayakan kaum wanita di sana menggunakan abaya hitam. Mereka tidak mengunakan mukena sebagaimana asal Indonesia. Setelah mereka mengetahui asal kami, dan niat kami berkunjung ke al Aqsha, mereka senang sekali, menyambut. Malahan ada yang merangkul kami dengan erat. Sungguh kebahagiaan yang tak ternilai, dipersatukan dengan akidah. Iqamat dikumandangkan, shalat dimulai. Bacaan imam shalat sangat indah, meningkatkan kekhusyukan. Membuat air mata berderai-derai.
Tak hanya masuk masuk Masjidil Aqsha yang susah, memasuki Masjid Hebron juga tak kurang peliknya. Untuk masuk ke dalam masjid sungguh tidak mudah. Banyak tentara Israel yang berjaga-jaga di sana. Kami masuk melewati alat sensor. Akhirnya kami dapat masuk ke dalam masjid ada makam Nabi Ibrahim AS. Selain itu ada juga Makam Nabi Ishaq dan makam Sarah. Di bawah masjid itu, sebenarnya banyak makam para Nabi, tapi oleh Israel ditutup. Masjid Hebron di bagi menjadi dua, sebagian milik orang Islam, sebagian milik orang Yahudi.
Perjalanan yang mengharukan, sekaligus meningkatkan keimanan. Semoga Allah senantiasa mengikat hati kaum Muslimin di mana saja, untuk selalu saling bertautan. Amin.